Langsung ke konten utama

Mesti Nikah dengan Penghafal Al-Qur'an?

                                               
uniqpost.com



Suatu waktu saya pernah mendengar pertanyaan begini,
“Apakah untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik harus mencari salah satu dari para penghafal Al-Qur’an?”
“Apakah seorang hafizh/hafizhah harus dapat pasangan hidup yang hafizh/hafizhah juga?”
“Apakah yang dimaksud sekufu dalam pernikahan adalah itu (keduanya sama-sama penghafal Al-Qur’an)?”

Karena beberapa pertanyaan itu, saya bersama kawan di asrama akhirnya tergerak juga untuk bertanya pada salah satu Ustadzah kami, beliau adalah ibu asrama di tempat kami tinggal saat ini. Kebetulan, saat kami bertanya perihal itu, bertepatan dengan saat-saat menjelang hari pernikahannya.

Lebih kurang, begini beliau menjawab, “Sekufu itu bukan berarti harus selalu sama dalam berbagai hal. Termasuk soal penghafal atau bukan. Sekufu itu bisa diartikan satu frekuensi, satu pemahaman, punya visi pernikahan yang serupa. Jadi tidak selalu yang penghafal mesti menikah dengan penghafal juga. Pasangan itu yang penting shalih, orang yang hanif, orang yang mau mendukung profesi atau kegiatan pasangannya, bukan malah saling mengekang/membatasi satu sama lain.”

Selain menjelaskan hal itu, beliau juga mencontohkan kisah beliau dengan calon suaminya (sekarang sudah jadi suami). Saya terkejut mendengar jawaban beliau. Ternyata calon suami beliau adalah salah satu dosen sekaligus kaprodi di Universitas Indonesia, sedangkan beliau adalah lulusan SMA. Namun beliau adalah seorang hafizhah, sedangkan calon suaminya saat mendaftar ngaji di tempat kami, masuk ke level tamhidi; level paling awal, level satu. Lihatlah, Allah begitu adil dalam mempersatukan mereka.

Sekarang, rumah tangga beliau masya Allah sekali. Ditambah sekarang sudah dikaruniai seorang putri. Saya banyak belajar dari melihat kisah rumah tangga beliau.

Saya juga teringat kembali konsep sekufu yang dijelaskan salah satu Ustadz. Menurut beliau, sekufu itu adalah sama-sama komitmen untuk sami’na wa atha’na pada apa yang Allah perintahkan dan Allah larang. Itu sudah cukup. Karena kalau sudah komitmen untuk menaati Tuhan, sudah tidak ada lagi permasalahan, kan? Meskipun pada perjalanannya akan ada lika-liku, tapi dengan berkomitmen demikian, menandakan seorang manusia akan lebih bisa untuk tunduk pada Penciptanya dibanding tunduk pada nafsunya sendiri. Dengan berkomitmen demikian pula, kebaikan akan datang pada seluruh aspek kehidupannya, termasuk rumah tangga.

Jadi begitu, ya. Terjawablah sudah. Perihal jodoh dan pernikahan memang selalu unik. Yang mesti jadi pegangan utama bagi kita bukan soal penghafal Al-Qur’an atau tidak. Bukan orang yang pendidikannya tinggi atau tidak. Tapi perihal komitmen untuk menaati perintah dan larangan Allah. Ini yang terpenting. Kalau menaati Tuhannya saja tidak komitmen, bagaimana mungkin bisa komitmen pada manusia?

Namun, jangan juga penjelasan di atas dijadikan pembelaan untuk kita tidak memulai menghafal Al-Qur’an. Menghafal Al-Qur’an sangat baik, Allah beri  banyak keutamaan. Dan bahkan ada satu hadits yang menyebutkan bahwa seseorang yang dalam hatinya tidak punya hafalan sama sekali, itu seperti rumah yang rusak.

Yaa, minimal dari sekarang kita belajar memperbaiki bacaan Al-Qur’an kita dan belajar sedikit-sedikit menghafal. Mulai dari juz 30 saja dulu. Tapi niatnya jangan untuk dapat jodoh yang baik, yaa. Diluruskan niatnya, hanya karena Allah. Tenang, soal jodoh nanti akan dipertemukan oleh Allah. :D

Komentar


  1. Setuju pisan tehh, Intinya terus memperbaiki diri dan terus tingkatkan kualitas diri yah tehh. Mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Teh Yayii. Terima kasih sudah berkunjung 😊

      Hapus

Posting Komentar

kamu bebas berkomentar di sini

Postingan populer dari blog ini

Ucapan itu Emang Doa

Gue baru sadar, ternyata apa yang gue bilang di postingan gue yang ke dua (Porsi yang Pas dari-Nya) itu beneran kejadian. Di akhir gue sempat bilang " Sekarang bagi gue swasta atau negeri ga masalah, kembali ke diri masing-masing. Bagaimana kita bisa mengoptimalkan diri kita " . Dari situ, entah kenapa diri gue seolah terpacu untuk mengoptimalkan kemampuan yang gue bisa, kemampuan yang ada dalam diri gue. Ini rasanya lebih bersemangat dibandingkan saat gue SMA dulu. Dan di postingan yang sebelum ini (saat candaan berubah konteks) itu adalah salah satu bumbu dari masa-masa gue yang berusaha (nyolong start) satu langkah lebih dahulu dari temen gue. Sebenarnya niat gue bukan untuk satu langkah lebih dari temen-temen gue (orang lain), tapi satu langkah maju dan lebih baik dari diri gue yang sebelumnya. Kalau sebelumnya gue banyak leha-leha, gue sekarang pengen banget berusaha buat enggak leha-leha lagi. Belum saatnya gue buat santai. Tapi karena saat itu gue lebih tertar...

Porsi yang Pas dari-Nya

Gue belum keterima kuliah dimana-mana, bahkan gue udah tiga kali ditolak sama PTN impian gue. Di situ gue ngerasa betapa amat sangat bodohnya gue, saat orang-orang di sekitar gue udah pada hebat, ada yang keterima di PTN impiannya lewat jalur SNMPTN, SBMPTN dan Ujian Mandiri, ada yang Juara OPSI Kabupaten dan lanjut ke tingkat Nasional, ada yang bisa ikut ke Lombok gratis dan ikut Kongres Anak Indonesia di sana, ada yang jadi Duta Anak Jawa Barat, ada yang udah pernah jadi Duta Remaja, ada yang jadi ketua organisasi tingkat kabupaten, ada yang udah pernah ke luar negeri gara-gara prestasinya, ada yang udah jadi pembicara dan sering dipanggil kemana-kemana bahkan sampai ke luar pulau, ada yang ikut organisasi-organisasi internasional dan namanya udah famous banget, dan masih banyak lagi. Sedangkan gue untuk masuk PTN aja ngga bisa. Di situ gue ngerasa diri gue ga ada kelebihannya sama sekali. Malam itu saat pengumuman hasil Seleksi Mandiri Masuk PTN, bener-bener gue berharap gue ba...