Langsung ke konten utama

Menulis: Satu Pekerjaan, Empat-Lima Hal Disadari


Bisa dibilang, mungkin saya termasuk orang yang sangat suka dunia kesastraan. Meskipun memang, saya baru sekadar (hanya) penikmat karya sastra dan sedang belajar meniti jalan ‘membuat karya’. Belum berada pada tahap menghasilkan ‘karya hebat’ sebagaimana para Sastrawan Indonesia lainnya.
(Tapi nanti insya Allah, ya. Doakan saja)

Jujur saja, saya menyadari hal ini baru sekitar dua tahun lalu, tepatnya pada awal tahun 2018. Saya masih sangat ingat, waktu itu adalah akhir semester 3 perkuliahan. Teman saya tiba-tiba berkata, “Put, menurut gue, elu ada bakat nulis deh”.

Saya terkejut mendengarnya. Sedikit tersanjung (memang), tapi lebih merasa geli dan lucu. Saya menjawabnya sambil tertawa, “Apaan, sih! Haha… ada-ada aja, lu!”.
Dia menjelaskan dengan kalimat lebih kurang seperti ini, “Eh, beneran. Menurut gue, elu punya kepekaan dan pemahaman yang lebih tentang kepenulisan dibandingkan gue dan temen-temen yang lain”.

Hari berlalu, ucapan teman saya sukses membuat saya memikirkannya sampai berhari-hari. Kata-katanya seperti terngiang-ngiang di telinga saya, seolah berulang kali berputar di dalam otak.

Singkat cerita, di tahun yang sama saya dapat kesempatan bertemu salah seorang penulis muda di ibu kota. Alhamdulillah, saya juga dapat rezeki untuk menikmati karya terbaiknya (pada saat itu) secara cuma-cuma, alias gratis. Setelah membaca karya tersebut, akhirnya saya membulatkan tekad untuk lebih mendalami dunia kepenulisan. Saya mencari-cari kelas menulis yang terpercaya dengan harga terjangkau. Maklum, namanya mahasiswa, sukanya yang ekonomis! :D

Sampailah saya pada kelas menulis daring @nulisyuk dengan mentor Mbak @jeeluvina. Program ini menawarkan bimbingan menulis selama sebulan, dengan tantangan menulis sepekan sekali. Di akhir kelas, seluruh peserta berkesempatan menulis buku keroyokan (antologi). Alhamdulillah (lagi), naskah saya masuk ke dalam buku antologi tersebut. Judulnya Ruang Tengah, Cerita Cinta Keluarga. Sepertinya sudah tidak dijual dan dicetak ulang, hehe....

Dari karya sederhana dan amatir itu, saya belum mendapatkan alasan kuat kenapa saya mesti menulis. Setiap kali orang bertanya pada saya kenapa saya ingin dan suka ‘menulis’, saya selalu menjawabnya dengan alasan klise. Katanya, “ingin bermanfaat”. Padahal tidak demikian, hati dan pikiran saya berkata lain. Seperti ada bisikan keras dalam hati bahwa saya sebenarnya hanya ingin populer.

Berkali-kali saya berusaha luruskan niat. Dengan keterbatasan ilmu yang saya pahami, dalam agama saya disebutkan bahwa keinginan untuk sekadar populer adalah penyakit hati. Tentu saya tidak ingin penyakit hati menjadi kotoran tersembunyi dalam karya saya. Dan saya kira, semua orang yang punya hati dan akal pasti menginginkan hal yang sama.

Tahun 2019 saya memutuskan untuk berhenti menulis (kecuali di akun instagram) selama niat baik belum muncul dalam hati saya. Padahal, sudah ada rancangan buku yang saya buat dengan target menerbitkannya akhir tahun ini, 2020. Semuanya sirna. Saya memilih belajar lagi tentang kepenulisan, ikut kelas menulis lagi dari yang gratis sampai yang berbayar. Memperbanyak bacaan dari para penulis hebat lainnya. Tapi tetap belum saya dapatkan juga niat baik itu.

Sampai suatu hari saya mengalami momentum yang mengingatkan saya pada salah satu konsep umum sebuah karya, “Karya dari hati akan sampai ke hati”. Kalimat yang (saya yakini) sudah sering didengar.

Semenjak itu, setidaknya saya menyadari beberapa hal.

Pertama, saya paham bahwa ternyata saya menulis adalah untuk diri saya sendiri. Motivasinya sangat individualis, memang. Saya hanya sekadar ingin mengungkapkan apa yang ada dalam benak saya dengan lebih sistematis. Kadang, berbicara terlalu banyak membuat isinya terlewat atau tak tersampaikan.

Kedua, saya yakin, dari sekian juta orang Indonesia, ada peluang beberapa orang mengalami hal yang mirip atau bahkan serupa dengan saya. Sehingga meski tidak memberi makna bagi banyak orang, tulisan saya mungkin berarti bagi satu atau dua orang saja. Itu sudah cukup. Saya selalu yakin bahwa setiap karya punya magnet tersendiri bagi penikmat setianya.

Ketiga, selama apa yang saya tulis adalah sebuah kebenaran atau segala hal yang tidak melanggar norma, hukum dan agama; saya bisa memanfaatkannya untuk (paling tidak) megubah pemahaman yang salah dari orang-orang di sekitar saya tanpa perlu menegur mereka secara langsung. Atau mungkin lebih kasarnya, menyindir mereka. HAHA

Keempat, ini adalah rekam jejak saya. Mudah bagi saya untuk mengalami ‘lupa’. Pun, sama mudahnya bagi saya untuk kembali membuka tulisan-tulisan saya sendiri dan menjadi pengingat diri pribadi.

Kelima, ini terpenting. Saran saya, siapapun kamu, apapun pekerjaanmu, bagaimanapun aktivitasmu, sesibuk apapun kamu; menulislah! Menulis menjadi salah satu cara terampuh untuk proses pembelajaran kepekaan hati dan ketajaman pikiran manusia. Kemampuan hati dan pikiranmu tidak akan usang dimakan zaman. Tidak ada yang salah dari mencoba menulis. Terserah di manapun itu-mau di surel, blog, akun media sosial, notes ponsel, laptop, diari, tembok kamar teman, toilet umum, pintu kamar indekos (ehhh, yang 3 terakhir jangan dilakukan tanpa izin!)-asalkan tetaplah menulis. Apapun bisa kamu tulis. Percayalah. Kamu bisa menulis opini, kejadian menyenangkan/menyebalkan di suatu hari, hikmah peristiwa, cerita berpapasan dengan mantan, cerita bertemu calon mertua; pokoknya apapun.

Terakhir, saya ingin berbagi tips sedikit untuk kamu yang merasa kesulitan menulis karena merasa ‘miskin kosakata’ atau ‘takut salah ketik/nulis’.

Setiap kamu sedang mulai menulis dan kamu ragu apakah suatu kata tulisannya benar/salah, bukalah KBBI* daring atau unduh aplikasi KBBI V. Cek di dalamnya, apakah kata yang mau kamu tulis itu tulisannya sudah benar atau belum.

Tambahan, untuk beberapa kaidah kepenulisan, silakan kamu gunakan PUEBI** daring atau PUEBI pdf.

Selamat menulis! Terima kasih.

Salam hangat dari saya yang (merasa) imut,
Puput


*Kamus Besar Bahasa Indonesia
**Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (dulu namanya Ejaan Yang Disempurnakan atau EYD)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ucapan itu Emang Doa

Gue baru sadar, ternyata apa yang gue bilang di postingan gue yang ke dua (Porsi yang Pas dari-Nya) itu beneran kejadian. Di akhir gue sempat bilang " Sekarang bagi gue swasta atau negeri ga masalah, kembali ke diri masing-masing. Bagaimana kita bisa mengoptimalkan diri kita " . Dari situ, entah kenapa diri gue seolah terpacu untuk mengoptimalkan kemampuan yang gue bisa, kemampuan yang ada dalam diri gue. Ini rasanya lebih bersemangat dibandingkan saat gue SMA dulu. Dan di postingan yang sebelum ini (saat candaan berubah konteks) itu adalah salah satu bumbu dari masa-masa gue yang berusaha (nyolong start) satu langkah lebih dahulu dari temen gue. Sebenarnya niat gue bukan untuk satu langkah lebih dari temen-temen gue (orang lain), tapi satu langkah maju dan lebih baik dari diri gue yang sebelumnya. Kalau sebelumnya gue banyak leha-leha, gue sekarang pengen banget berusaha buat enggak leha-leha lagi. Belum saatnya gue buat santai. Tapi karena saat itu gue lebih tertar...

Porsi yang Pas dari-Nya

Gue belum keterima kuliah dimana-mana, bahkan gue udah tiga kali ditolak sama PTN impian gue. Di situ gue ngerasa betapa amat sangat bodohnya gue, saat orang-orang di sekitar gue udah pada hebat, ada yang keterima di PTN impiannya lewat jalur SNMPTN, SBMPTN dan Ujian Mandiri, ada yang Juara OPSI Kabupaten dan lanjut ke tingkat Nasional, ada yang bisa ikut ke Lombok gratis dan ikut Kongres Anak Indonesia di sana, ada yang jadi Duta Anak Jawa Barat, ada yang udah pernah jadi Duta Remaja, ada yang jadi ketua organisasi tingkat kabupaten, ada yang udah pernah ke luar negeri gara-gara prestasinya, ada yang udah jadi pembicara dan sering dipanggil kemana-kemana bahkan sampai ke luar pulau, ada yang ikut organisasi-organisasi internasional dan namanya udah famous banget, dan masih banyak lagi. Sedangkan gue untuk masuk PTN aja ngga bisa. Di situ gue ngerasa diri gue ga ada kelebihannya sama sekali. Malam itu saat pengumuman hasil Seleksi Mandiri Masuk PTN, bener-bener gue berharap gue ba...

Mesti Nikah dengan Penghafal Al-Qur'an?

                                                uniqpost.com Suatu waktu saya pernah mendengar pertanyaan begini, “Apakah untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik harus mencari salah satu dari para penghafal Al-Qur’an?” “Apakah seorang hafizh/hafizhah harus dapat pasangan hidup yang hafizh/hafizhah juga?” “Apakah yang dimaksud sekufu dalam pernikahan adalah itu (keduanya sama-sama penghafal Al-Qur’an)?” Karena beberapa pertanyaan itu, saya bersama kawan di asrama akhirnya tergerak juga untuk bertanya pada salah satu Ustadzah kami, beliau adalah ibu asrama di tempat kami tinggal saat ini. Kebetulan, saat kami bertanya perihal itu, bertepatan dengan saat-saat menjelang hari pernikahannya. Lebih kurang, begini beliau menjawab, “Sekufu itu bukan berarti harus selalu sama dalam berbagai hal. Termasuk soal penghafal atau bukan. Sekufu itu bisa d...