Semangat turun, itu wajar. Jangankan sekadar semangat, iman pun
demikian. Tapi ini bukan alasan untuk berleha-leha dan tidak melanjutkan apa
yang sedang diperjuangkan.
Katanya, kalau sedang tidak semangat, salah satu caranya adalah dengan
mengingat kembali “apa alasannya” atau “motivasi utamanya apa”. Dan saya setuju
dengan itu.
Sampai saat saya menulis ini, sejujurnya saya sedang dalam kondisi
turun semangat. Namun justru pada saat-saat seperti ini, saya menggali lagi
ingatan masa lalu yang mengantarkan saya sampai titik ini. Momen yang saya
sebut sebagai “hadiah terbaik”. Memang betul, seumur-umur saya hidup, hal ini
yang menjadi “hadiah terbaik” yang Allah beri untuk saya.
Ini adalah tentang memori yang sangat indah dan mengharukan.
Tahun 2018 tepat tanggal 28 Januari, saya ikut kajian Ustadz Adi
Hidayat dengan tema Peringatan Hari Al-Qur’an di Masjid Istiqlal. Tidak banyak
materi kajian yang saya ingat, namun ada satu bagian yang sangat berkesan.
Beliau sempat menceritakan bagaimana akhirnya beliau bertekad untuk menghafal
Al-Qur’an. Dulu saat usia 13 tahun, beliau ditinggal wafat oleh ayahnya. Namun
karena beliau sedang di pondok pesantren, beliau tidak menyaksikan bagaimana
detik-detik hembusan nafas terakhir ayahnya itu. Saat pulang ke rumah, beliau
seketika pergi ke kamar Sang Ayah dan memeluk mushaf Al-Qur’an yang selalu
dipakai oleh ayahnya. Detik itu juga, beliau bertekad akan menghafal Al-Qur’an.
Sontak saya menangis mendengar kisah ini. Saya dan beliau sama.
Sama-sama ditinggal ayah di usia 13 tahun; juga sama-sama tidak menyaksikan bagaimana
hembusan nafas terakhir ayah karena sedang di pondok. Bedanya, beliau bertekad
menghafal, sedangkan saya boro-boro. Saya malah berhenti dari pondok. Padahal
saat itu saya baru sekitar satu tahun merasakan kehidupan pondok pesantren.
Ada perasaan kecewa yang sangat besar saya rasakan terhadap diri saya
pada saat itu. Saya berpikir, “Ustadz Adi dulu ditinggal ayahnya jadi baik.
Lah, gue malah bandel. Astaghfirullaah”.
Namun nasi sudah jadi basi, saya tidak akan pernah bisa mengulang masa hidup
saya kembali ke usia 13 tahun.
Lebih kurang Ustadz Adi mengatakan, “hanya ini yang bisa saya berikan
untuk ayah saya”.
Mendengar hal tersebut, saya menangis sejadi-jadinya; dan untuk
pertama kalinya dalam hidup, saya berniat ingin menghafal Al-Qur’an.
Tidak sampai sebulan setelah itu, saya menghadiri kajian bulanan
Komunitas Muda Berdakwah. Sejak awal saya tahu bahwa komunitas ini setiap
bulannya mengadakan kajian rutin, saya hampir tidak pernah absen untuk hadir.
Maklum, dulu saya masuk kategori pemudi yang baru kembali ke agamanya, setelah
sekian puluh perjalanan bar-bar saya
lewati.
Dari kajian rutin itu akhirnya saya tahu ada seseorang yang usianya di
bawah saya (dulu masih SMA), yang bacaan Al-Qur’annya fasih dan merdu. Saya
kagum dengannya sekaligus iri, karena saya yang usianya lebih tua malah belum
bisa membaca Al-Qur’an sebagus itu. Dan hari itu, dia juga yang membacakan
Al-Qur’an sebagai tilawah pembuka acara.
Di akhir acara kajian, ada doorprize
yang dibagikan untuk para peserta yang aktif bertanya. Seperti biasa, saya
selalu tidak dapat. Tapi tidak dengan hari itu, tiba-tiba pembawa acara
mengatakan, “Siapa yang mau lagi doorprize-nya?
Sini ke depan!”. Tanpa pikir panjang dan tanpa urat malu, saya langsung lari
menghampirinya. Benar, saya mendapatkan doorprize
dengan cuma-cuma.
Saat membuka bingkisan doorprize,
buku dengan judul Siapa Bilang
Menghafal Al-Qur’an itu Sulit?, membuat saya terkejut. Dalam benak saya,
“Ya Allah, pas banget. Gak mungkin kebetulan, kan?”. Lebih terkejut lagi saat
saya membuka buku itu, terselip surat di dalamnya dari Sang Pemilik. Ternyata
buku itu adalah pemberian dari seseorang yang saya kagumi tadi. Padahal, saya
dan orang itu tidak saling kenal secara personal, saya bahkan hanya sekadar tahu
namanya. Seketika saya menangis. “Ya Allah, apakah ini yang namanya hidayah?”.
Singkat cerita, saya pulang ke Bogor. Saya bercerita pada orang tua
saya tentang niat saya menghafal dan memohon untuk didoakan. Tapi, ayah (tiri)
saya menjawab, “Juz 30 dulu aja kalau mau meghafal, kan lagi kuliah, nanti
malah gak fokus dua-duanya”. Jujur, saya sedih mendapat jawaban seperti itu.
Tidak sampai situ skenario takdir-Nya. Di akhir bulan Februari 2018,
sekitar 1 atau 2 pekan setelah kejadian itu, saya dapat info Program Mahasiswi
Menghafal Al-Qur’an (PMHQ). Saya tertegun, "Ya Allah, apakah ini petunjuk lagi dari-Mu?". Tanpa berpikir panjang, saya hanya meminta restu ibu dan langsung
mendaftar bersama 2 orang teman. Alhamdulillaah,
kami lulus seleksi berkas serta berkesempatan mengikuti tes. Namun qadarullaah, di antara kami hanya saya
yang lulus ke tahap berikutnya untuk bisa ikut masa percobaan di asrama selama
2 pekan.
Sungguh malu saya saat pertama kali bergabung di asrama itu. Mereka
yang sama-sama berjuang dengan saya untuk masa percobaan ini adalah orang-orang
baik, ada yang sudah selesai setoran hafalan 30 juz, petinggi di lembaga dakwah
kampusnya, aktivis di kampus, lulusan pondok pesantren, bahkan ada yang lulusan
Gontor; sedangkan saya bukan apa-apa. Niat menghafal saja baru muncul sekitar 5
pekan lalu. Tapi ternyata Allah memilih saya menetap di Asrama PMHQ ini, saya tidak
terpilih untuk dipulangkan setelah selesai masa percobaan.
Saya kembali berpikir, “Ya Allah, apakah ini benar-benar yang namanya
hidayah? Apakah aku layak untuk menghafal ayat-ayat sucimu? Apakah aku akan
mampu mengamalkannya? Apakah aku layak dianggap baik oleh manusia sedangkan di
hadapan-Mu aku sangat hina?”.
Sampai seorang Ustadzah berkata, lebih kurang begini katanya, “Dulu
saat Ustadz titipkan TI (Tahfizh Intensif) Akhawat untuk setoran hafalan pada
saya, saya merasa ini sesuatu yang berat. Tapi setelah itu saya sadar, ini
adalah hadiah untuk saya”.
Bergetar hati saya mendengar apa yang beliau katakan. Tapi benar, ini
memang hadiah. Bahkan, hadiah terbaik.
Saya teringat dalam satu kajian, Ustadz pernah bertanya lebih kurang
seperti ini, “Nikmat apa yang ada dalam pikiran Anda ketika mendengar ayat fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzdzibaan?”.
Berbagai macam jawaban dilontarkan oleh kami, dari mulai pasangan,
anak, makanan, keluarga, harta, kesehatan dan lain lain.
Ustadz kembali berkata, “Betul, itu semua nikmat. Tapi nikmat terbesar
itu ada di ayat kedua surat ini. ‘allamal
qur’aan. Al-Qur’an adalah nikmat terbesar bagi kita”.
Saya tertampar, “Ya Allah, Put! Masih mau kamu mengelak untuk merawat
hadiah terbaik sekaligus nikmat terbesar ini?”.
Ya, begitulah. Allah selalu baik pada saya, selalu mengasihi. Allah
beri saya nikmat terbesar, tapi saya sebagai manusia sering lalai dan tidak
sadar. Allah beri saya kesempatan untuk dekat dengan orang-orang baik, jadi
bagian dari mereka; tapi saya sering tidak tahu diri.
Berkali-kali saya punya waktu untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an,
berkali-kali sibuk saya jadikan alasan.
Padahal sebagai “hadiah terbaik”, mestinya saya jaga dengan cara
terbaik pula.
Ya Allah, terima kasih untuk setiap skenario terbaik-Mu.
Terima kasih karena saya termasuk satu dari jutaan manusia yang masih
diberi kesempatan hidup bersama firman-Mu.
Dan untuk tiap-tiap orang yang terlibat menjadi perantara-Nya, terima
kasih juga, ya.
Puput mantaap.. jadi bikin inget lagi :)
BalasHapussiapapun dirimu, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca dan bersedia memberi komentar ;)
HapusSebenernya puput pernah cerita langsung sama saya tentang ini, tapi saya baca lagi sbg pengingat buat saya juga
BalasHapusmakasih, saudaraku :')
Hapus